Dimana saja ada jejak Datu Parulas Parultop?
(Tulisan ini menggunakan tulisan Kardi Siboro dan tulisan Djabintang Hasiholan Siboro sebagai bahan, dengan penyesuaian oleh Arnold Siboro)
Datu Parulas Parultop adalah seorang pengembara yang misterius, sampai saat ini tidak diketahui dengan pasti seluruh kisah hidupnya. Namun di berbagai tempat oleh masing-masing yang mengaku keturunannya kita menemukan kisah Datu Parulas Parultop.
Berikut ini adalah lokasi dimana ditemukan kisah Datu Parulas Parultop sebagaimana dituturkan oleh mereka yang mengaku keturunannya.
1. Dolog Silou (marga Purba Tambak)
Kisah perjalanan Datu Parulas Parultop pada bagian ini dikonstruksikan dan dikaitkan
dengan tulisan dari Tuan Bandar Alam Purba Tambak, generasi terakhir yang memangku jabatan sebagai Raja di kerajaan Dolog Silou, yang selamat dari pembantaian Barisan Harimau Liar di tahun 1946-1947. Ia menulis pada tanggal 18 November 1967 dan dipublikasikan pada tahun yang sama. Cetakan kedua dibuat pada tahun 2008 dan cetakan ketiga tahun 2019. Tulisan beliau didasarkan pada Partingkian Bandar Hanopan, sebuah manuskrip tua beraksara Simalungun. Menurut Tuan Bandar Alam Purba Tambak, nenek moyang marga Purba Tambak adalah orang yang sama dengan nenek moyang marga Purba Pakpak, Girsang, Siboro dan Cibro, hanya saja menurut beliau nenek moyang mereka adalah seorang pengembara yang datang dari Pagaruyung (Sumatera Barat), mengembara ke Natal (di Mandailing) dan terus menyusuri pegunungan (Bukit barisan) hingga ke Singkil (Aceh Selatan)
2. Tungtung Batu (marga Cibro)
Tungtung Batu berada di bawah kaki gunung Bukit Barisan yang berbatasan dengan daerah Aceh. Datu Parulas Parultop, yang saat itu dikenal dengan nama Datu Parultop, tiba di negeri Suku Pakpak itu, yang dipimpin oleh Raja Sambo. Datu Parultop menikah dengan putri dari Raja Sambo dan lahirlah anaknya dan diberi nama Cibro. Menurut penutur daerah setempat, pemberian nama Cibro didasarkan pada sifatnya yang sangat nakal, mulai dari kanak-kanak sampai beranjak remaja. Dalam bahasa Pakpak, Cibro adalah Kecebong. Kemudian Datu Parultop meminta tanah perkampungan (istilah Pakpak: Gajah Meratah) kepada mertuanya dan diberikanlah Kampung Tungtung Batu Sebagai perkampungan dan menjadi tempat asal usul marga Cibro.
3. Kuta Juhar (marga Tarigan Sibero)
Keturunan Cibro dari Tuntung Batu merantau ke Kuta Juhar, Tanah Karo dan menurunkan marga Tarigan Sibero.
Menurut Masrul Purba Dasuha di tulisannya "Sejarah Lahirnya Marga Tarigan", marga yang menerima kehadiran keturunan marga Cibero dari Tungtung Batu adalah marga Tarigan Tua. Tarigan Tua ini berasal dari Purba Tua di Silima Huta Simalungun dan memiliki ikatan persaudaraan yang erat dengan Purba Tanjung di Sipinggan, simpang Haranggaol. Eksistensi marga ini ditandai dengan adanya kampung Purba Tua yang berada di Kecamatan Silima Huta yang kemudian terbagi menjadi Purba Tua Bolag dan Purba Tua Etek, dari sini keturunannya menyebar ke daerah Rahut Bosi (Rakut Besi sekarang), Tambak Bawang, dan Tingkos, dari tempat ini sebagian keturunanya menyebar ke tanah Karo.
4. Singkil, Alas dan Gayo (marga Cibro)
Berikut ini adalah kisah Datu Parulas Parultop di Gayo menurut Dian Cibro dari suku Gayo.
Asal muasal garis keturunan Cibro di Gayo bermula dari tuan Sigulangbatu. Yakni dari keturunan generasi IV beliau yang bernama Datu Parulas yang dikisahkan memiliki 3 orang anak laki-laki tercatat. Salah seorang yang tengah bernama Siboro, abangnya bernama Girsang yang kemudian menurunkan marga Girsang dan marga Gersang di Pakpak, Karo dan Simalungun. Adik bungsunya tetap menggunakan nama Marga Purba yang kemudian menyebar di Tanah Simalungun. Salah seorang keturunannya di kemudian hari berhasil menjadi salah satu penguasa di Simalungun yakni Purba Simalungun. Dikemudian hari Siboro juga memiliki beberapa keturunan laki-laki yang pada masa kemudian menyebar di sekitar daerah Tanah Dairi. Di Tanah Dairi mereka lebih dikenal dengan sebutan Cibro mengikuti aksen Pakpak. Generasi berikutnya ada yang meneruskan perantauan ke Timur menuju ke Tanah Karo di sana mereka dikenal dengan sebutan Sibero/Cibero. Di Tanah Karo ini mereka memilih bernaung di bawah kelompok Merga Tarigan salah satu induk kumpulan merga di Karo. Diduga pertimbangannya adalah karena beberapa keturunan saudara leluhur mereka yang juga telah merantau ke sana, yakni keturunan Purba dan Girsang, juga sama-sama memilih bernaung di bawah Klan Tarigan. Keturunan mereka dikenal dengan sebutan Tarigan Sibero. Dari sana kemudian ada sebagian keturunan mereka menyebar ke arah Timur menuju ke Tanah Simalungun. Di sana mereka memilih bernaung di bawah klan Purba Simalungun dengan pertimbangan hubungan darah leluhur mereka yang paling dekat dibanding kelompok klan Simalungun lainnya. Purba adalah salah Saudara satu leluhur mereka yang telah menjadi salah satu penguasa di Simalungun. Kekuasaan mereka membuka pintu bagi penerimaan marga saudara sedarah leluhur mereka lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa marga-marga saudaranya juga umumnya memilih bernaung di bawah klan Purba. Selain ke arah Timur, keturunan Sibero/Cibro itu juga ada yang meneruskan ke arah Barat menuju ke Tanah Singkil. Di sana mereka menggunakan nama merga Cibro dari Singkil. Selain itu juga ada yang merantau ke arah pedalaman Utara menuju ke Tanah Alas. Mereka kemudian dikenal sebagai Merga Cibro dari Alas dan menjadi pengusung budaya Alas. Dalam perkembangannya keturunan mereka ada yang meneruskan migrasi hingga ke Tanah Gayo. Di sana mereka menjadi orang Gayo dengan menggunakan nama Merga Cibro dari Gayo ataupun sebagian besar tanpa menggunakan nama merga lagi.
5. Lehu (marga Girsang)
Tulisan ini bersumber dari investigasi yang dilakukan oleh Masrul Purba Dasuha, SPd., kepada salah seorang pengetua adat Pakpak marga Cibero yang dipublikasikan tahun 2016 dengan judul "Sejarah Lahirnya Marga Purba Simalungun". Ia menjelaskan bahwa Girsang adalah keturunan dari marga Cibro. Leluhur marga Girsang tinggal di sebuah bukit di kampung Lehu, pemukimannya itu diberikan oleh Raja Mandida Manik karena menikahi puterinya. Dari pernikahan dengan boru Manik ini, lahirlah keturunan Datu Parulas Parultop yang kemudian diberi nama Girsang. Adapun nama leluhur pertama marga Girsang yg datang langsung dari Pakpak adalah 2 orang bersaudara yaitu Girsang dan Sondar Girsang, mereka ini keturunan ke 10 dari Raja Ghaib (Raja Batak), leluhur pertama marga Cibro.
Mengenai sejarah marga Girsang, terdapat 2 versi cerita (lihat misalnya buku "Klan Girsang di Simalungun"), sehingga diperlukan penelitian dan penjajakan lebih lanjut. Versi tersebut adalah:
a. Versi Girsang adalah keturunan Datu Parulas Parultop dari Purba Sigulang Batu
b. Versi Girsang adalah keturunan Datu Parulas Parultop dari Sihombing Lumbantoruan
6. Sagala (marga Siboro)
Datu Parulas berangkat dari Haranggaol menuju ke Pusuk Buhit (Sagala) dengan menyeberangi danau, yang saat ini di sebut Tao Silalahi. Lalu sampailah Datu Parulas pada sebuah pantai, yang mana pantai tersebut terdapat sebuah muara sungai. Pada saat itu, daerah itu masih kosong, tidak ada penduduk sama sekali. Datu Parulas melanjutkan perjalanan ke arah hulu dengan menyusuri sungai tersebut. Lalu sampailah ia di sebuah perkampungan, tetapi perkampungan itu sepi, tidak ada kegiatan sama sekali, meskipun pada saat siang hari. Rupanya tempat itu lagi dalam kondisi berbahaya, karena serangan burung elang raksasa berkepala tujuh di siang hari dan babi hutan yang memiliki kalung dilehernya pada malam hari. Nama tempat itu ternyata adalah Sagala, yang pada masa itu dipimpin oleh keturunan Sagala Raja yang bernama Tuan Mulani Huta II. Singkat cerita, Datu Parulas Parultop berhasil mengalahkan kedua hewan mistis tersebut, sehingga Sagala Raja memberikan putrinya dan tanah waris (panjaean). Luas tanah warisnya kira kira 1/3 (sepertiga) dari luas tanah yang dimiliki Raja Sagala. Datu Parulas Parultop memiliki 3 (tiga) orang putra dari pernikahannya dengan putri tersebut (Nai Asang Pagar), yaitu : Bangundongoran, Ompu Ni Arga, Pangaribuan. Keturunan Datu Parulas Parultop yang berasal dari Sagala sudah memakai sebutan marga Siboro, yang merupakan identitas jati dirinya. Datu Parulas Parultop berpesan kepada anak-anaknya: “Meskipun kalian putraku hanya ada 3 (tiga) orang, tapi katakanlah 4 (empat), yang ke empat adalah Raja Suha, sebagai Haha Ni Uhum (menjadi saudara tertua karena hubungan keterikatan hukum)”.
7. Nainggolan (marga Lumbanraja)
Walaupun kisah Datu Parulas Parultop di Nainggolan berbeda antara yang dituturkan oleh pihak Nainggolan dan oleh pihak selain Nainggolan, tapi leluhur yang diakui sama, yaitu Datu Parulas Parultop. Anak dari Datu Parulas Parultop di Nainggolan diberi nama Nainggolan Lumban Raja, yang menjadi leluhur marga Lumbanraja.
8. Simalungun (marga Purba Pakpak dan Purba Siboro)
Datu Parulas Parultop melanjutkan perburuannya, akhirnya setelah beberapa masa mengikuti jejak burung, ia sudah sampai di daerah wilayah kekuasaan Kerajaan Nagur, Simalungun. Suatu hari, Raja Nagur pergi berburu bersama dengan Datu Parulas Parultop, dalam perburuan itu Datu Parulas Parultop bertemu dengan burung Nanggordaha itu, dan ultop nya berhasil mendapatkan burung tersebut. Ia memutuskan untuk menetap di tempat itu karena dilihatnya tempat itu cukup subur. Tempat itu berada di wilayah pematang Purba yang sekarang ini. Pada masa itu, Tuan Simalobong Purba Dasuha adalah tuan (partuanon) yang memerintah di wilayah Pematang Purba. Suatu ketika, datanglah mertua dari Tuan Simalobong yaitu Tuan Silampuyang marga Saragih, bersama dengan adiknya yang cantik jelita. Datu Parulas Parultop jatuh hati atas kecantikan daripada boru Saragih itu, dan kemudian menikahinya. Datu Parulas Parultop kemudian bertarung dalam ritual sumpah dengan Tuan Simalobong, menang dan membuat Kerajaan Purba disitu serta menjadi raja pertamanya.
Selain itu, ada marga Purba Siboro di Simalungun, yang juga mengakui Datu Parulas Parultop sebagai leluhurnya, namun detilnya alur keturunannya masih belum jelas. Menurut Djabintang Hasiholan Siboro dalam bukunya "Pusuk Buhit Sianjur Mula Mula, Datu Parulas Parultop dan Keturunannya Marga Siboro”, Paling tidak ada dua kemungkinan mengenai asal-usul dari Purba Siboro di Simalungun: 1. Sebagian leluhur mereka berasal dari Sagala atau dari tempat-tempat lainnya dari Samosir. Karena satu dan lain hal lantas merantau ke Simalungun, salah satunya adalah untuk merubah nasib agar kehidupan menjadi lebih baik dan disana mereka menyandang marga Purba atau Purba Siboro, 2. Kemungkinan kedua, ada yang berpendapat sebutan marga Siboro di Simalungun sudah ada dan marga itu disandang oleh Op. DPP sebagai sebuah asumsi memang masuk akal jika Op. DPP yang menyandang marga Purba Sigulang Batu kemudian karena alasan tertentu merubah sebutan menjadi marga Siboro sebelum datang ke negeri Sagala.
Selain lokasi-lokasi di atas, ada lokasi yang menurut legenda dari keturunannya pernah ditinggali Datu Parulas Parultop, tapi belum diketahui apakah beliau meninggalkan keturunan langsung (bukan keturunannya dari lokasi lain yang beremigrasi) disitu, seperti Rianiate dan Siboro Gaung Gaung.
Komentar
Posting Komentar