Kisah Datu Parulas Parultop menyumpit seekor burung namun meleset, dan beliau terus mengikutinya sampai ke suatu tempat di mana dia kemudian tinggal, dikisahkan oleh keturunannya marga Siboro, seperti tertulis di
Kisah Datu Parulas Parultop menurut Punguan Siboro Se-Jabodetabek di bawah ini. Kisah yang mirip ada juga di pihak lain yang kemungkinan adalah juga keturunan dari Datu Parulas Parultop:
- Kisah Raja Parultep menurut Silahi Sabungan
- Kisah Tuan Horsik (Pangultop-ultop) menurut sejarah kerajaan Dolog Silou
Kisah Datu Parulas Parultop menurut keturunannya marga Siboro
BAB VI PERJALANAN OP. DPP KE NEGERI SAGALA
A. OP. DPP PERGI DARI HUTA SIBORO GAUNG-GAUNG
Sesampainya di daerah Tongging, Op. DPP melihat seekor burung yang sangat bagus bulunya. Dia ingin menangkap burung itu hidup- hidup tetapi tidak tertangkap, lalu di ultopnya. Namun begitu anak panah ultopnya baru melesat, burung itu sudah terbang lagi. Op. DPP mengikuti burung itu terus-menerus kemana arah terbangnya. Tanpa disadari, hari demi hari ternyata Op. DPP sudah melewati daerah Paropo, Silalahi Nabolak, Binangara, Hasinggaan, Bonandolok dan akhirnya sampai di muara sungai (binanga) pantai Tulas. Aneh seketika itu juga burung yang bulunya indah itu menghilang, tidak kelihatan lagi. Op. DPP tertegun, kemana burung itu? pikirnya.
Masih sedang berpikir soal burung itu Op. DPP secara tidak sengaja melihat; ada sekam dan batang padi (sobuon dohot toras ni eme) mengalir terbawa arus sungai Tulas dari hulu. Ketika itu disekitar pantai Tulas belum ada penduduk. Op. DPP berpikir: "Di hulu sungai ini pasti ada penduduk". Meskipun belum lupa mengenai burung yang sudah menghilang dari pandangan mata, Op. DPP lalu memutuskan untuk berjalan ke hulu mengikuti tepian sungai, akhirnya sampailah di kampung (luat) negeri Sagala.
Ketika sampai di negeri Sagala, Op. DPP melihat keadaan sepi seperti tidak ada penduduk. Rumah-rumah ada tapi pintunya dalam keadaan tertutup semuanya. Ada apa ini? pikirnya. Sesaat Op. DPP melayangkan pandangannya ke gunung Pusuk Buhit dimana kampung/negeri Sagala berada di kaki gunung ini. Teringatlah Op. DPP ketika memandang gunung ini dari bukit Siboro Gaung-Gaung yang sempat menggugah perasaannya. Teringat pula dengan sejarah yang dituturkan oleh para leluhur, bahwa Pusuk Buhit Sianjur Mula-Mula adalah kampung permukiman pertama yang didirikan oleh Op. Si Raja Batak, leluhur semua orang Batak. Op. DPP juga melayangkan pandangannya pada hamparan lembah persawahan subur negeri Sagala. Dan kemudian melihat juga negeri Sagala adalah sebuah lembah berdindingkan bukit di sekelilingnya. Dinding-dinding bukit ini bisa menangkal dan mengurangi kencangnya angin malam yang dingin.
Tanpa disadari, rupanya dari tadi ada seseorang yang mengintai (martagopgop.) mengetahui keberadaan Op. DPP, kemudian mereka secara tidak sengaja saling beradu pandang ...
Di rumah mereka saling bertutur sapa dan memperkenalkan diri masing-masing. Tuan rumah adalah marga Sagala dan Op. DPP pun memperkenalkan dirinya marga Purba Sigulang Batu.
Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai peristiwa apa yang terjadi di negeri Sagala. Peristiwa itu juga yang dijelaskan oleh tuan rumah kepada Op. DPP, bahwa telah berhari-hari dan berminggu-minggu penduduk negeri Sagala mengalami kesusahan dan ketakutan. Lebih lanjut dijelaskan oleh tuan rumah; ada 2 jenis binatang (makhluk aneh) yang belum pernah dikenal selama ini. yaitu: "Aili Siparratte" (babi hutan berkalung rantai) dan "Lali Sipitu Tahal"(elang berkepala 7). Ketika tiba malam hari babi hutan merusak tanaman penduduk dan sudan banyak yang dirusaknya. Jika ada penduduk yang mencoba menghalau pasti akan diserang, konon babi hutan berkalung rantai tidak mempan ditembus oleh anak panah atau peluru biasa. Tidak ada ketenangan, giliran siang hari burung elang berkepala 7 yang beraksi, terbang melayang-layang mencari mangsa/korban, apabila dilihatnya ada orang atau hewan muncul pasti akan disambarnya. Ini betul-betul sebuah malapetaka bagi penduduk ...
Pada hari-hari berikutnya di siang hari, Op. DPP masuk ke dalam lobang galian (godung) di "Gorat." Disitu Dia mengintai dan menunggu datangnya burung elang berkepala 7. Setelah beberapa saat menunggu, burung elang itu muncul terbang melayang-layang dan ternyata sangat besar, kepakan sayapnya menimbulkan angin kencang berdesing seperti badai. Ultop dibidikkan, anak sumpit/peluru dihembusnya, langsung melesat dan kena di salah satu kepala burung itu, tetapi tidak jatuh dan masih bisa terbang. Setelah beberapa kali terkena anak sumpit/ultop, burung elang itu mengamuk hendak menerkam Op. DPP, tetapi rupanya sudah kehabisan nafas. Burung elang itu akhirnya jatuh dan roboh. Namun betul-betul sial, burung elang yang sangat besar itu justru jatuh menimpa tubuh Op. DPP yang berada didalam lobang galian (godung). Karena tidak bisa bergerak dan sulit bernafas di dalam godung itu, beberapa saat kemudian Op. DPP akhirnya mati.
Selama beberapa saat situasi sungguh mencekam, penduduk gemetar tidak ada yang berani mendekat. Setelah beberapa saat berlalu, penduduk mulai memberanikan diri dengan rasa was-was mendekati lokasi. Betul, mereka melihat Op. DPP tertimpa bangkai burung elang yang ternyata sangat besar dan mereka juga melihat, bahwa Op. DPP sudah mati. Penduduk yang ada di lokasi itu terdiam, suasana membisu membuat hening, tidak ada yang berbicara. Kemudian mereka baru ingat pesan Op. DPP: "Kalau Dia mati jangan dikuburkan". Penduduk kampung akhirnya menyisihkan bangkai burung elang itu, lalu mengangkat tubuh Op. DPP dan membaringkannya di sebuah sopo/dangau (sebuah bangunan kecil dan berfungsi juga sebagai lumbung padi).
B. BUNGA YANG DITANAM, DAUNNYA MENJADI LAYU BERGUGURAN
Nun jauh disana di huta Siboro Gaung-Gaung Haranggaol, rupanya daun-daun pohon yang ditanam Op. DPP dahulu telah layu dan berguguran. Melihat itu si Suha tersentak dan merasa sedih, tahulah dia bahwa Op. DPP sedang berada dalam marabahaya. Kedalam pendengaran si Suha seakan ada bisikan suara, agar dia mencari Op. DPP ke arah gunung Pusuk Buhit.
Berangkatlah si Suha membawa "tawar Sipangaban-abang, sipangubung ubung sipangolu naung mate, siparata naung busuk" (ramuan yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati dan menyegarkan tubuh yang sudah busuk). Sampan (solu) yang digunakan oleh si Suha bergerak mengarungi permukaan air Danau Toba menuju arah selatan. Sambil mengayuh sampannya berayun- ayun di atas gelombang, perasaan si Suha berkecamuk tidak menentu. Si Suha merasa sedih dan khawatir, apakah tawar ini bisa menolong Op. DPP?, pikirnya. Setelah mengarungi danau sekian lama (perkiraan satu-dua hari), akhirnya sampai juga si Suha berlabuh di pantai Tulas. Kakinya melangkah, berjalan menyusuri tepian sungai Tulas ke hulu. Dengan rasa lelah dan berpeluh keringat penuh di dahi, maka sampailah si Suha di kampung negeri Sagala. Setelah bertemu dengan salah seorang penduduk marga Sagala, si Suha meminta agar dia diantar segera ke tempat dimana Op. DPP dibaringkan. Di tempat pembaringan (sopo), Si Suha tidak menyia-nyiakan waktu langsung mengambil tawar, memercikkan dan menyapukannya ke seluruh tubuh Op. DPP.
Perlu menunggu beberapa saat. Pada saat menunggu itu, penduduk yang ikut menyaksikan di tempat Op. DPP dibaringkan merasakan ketegangan, kegelisahan dan berharap-harap cemas. Akhirnya, secara perlahan-lahan tubuh Op. DPP mulai menggeliat dan bergerak, kemudian bangkit duduk dari pembaringannya dan hidup kembali. Dilihatnya Si Suha, anak abangnyya sudah ada di sampingnya, mereka berpelukan dengan perasaan haru tak perasaan haru tak terhingga, ada air mata mengalir. Bagaikan sebuah drama yang getir mencekam, banyak penduduk kampung yang menyaksikan peristiwa itu ikut larut dalam keharuan, meneteskan air mata juga. Jasa Op. DPP sangat besar kepada kami, begitulah mereka mengakui dalam hati.
Setelah berbulan-bulan lamanya Silahi Sabungan menetap di Silalahi Nabolak , ia dikejutkan dengan suatu peristiwa yang membawa berkah bagi hidupnya. Seorang raja Pakpak bernama Raja Parultep, tengah berburu (menyumpit) burung di hutan Simarnasar diatas Silalahi Nabolak. Sewaktu Raja Parultop menyumpit seekor burung elang (Lali), paha burung itu kena namun burung itu tidak sampai mati. Burung elang itu kembali terbang. Raja Parultop mengejar, tetapi begitu didekati burung itu kembali terbang. Demikianlah berulang-ulang, akhirnya Raja Parultep tiba Silalahi Nabolak.
Sewaktu Raja Parultep mengejar sampai jauh ke hutan belantara Silalahi Nabolak, burung elang itu terbang menuju pulau Samosir – melintasi Danau Silalahi yang sangat luas. Burung elang itu merasa tidak sanggup terbang sampai ke Pulau Samosir, lalu burung itupun kembali ke pantai Danau Silalahi dan hinggap dekat pondokan Silahi sabungan. Burung elang dengan mudah ditangkap oleh Silahisabungan, karena sudah lelah. Raja Parultop yang memperhatikan burung elang itu kembali dan hinggap dipantai Danau Silalahi, dia bertekat akan menangkap burung elang itu hidup atau mati, walaupun hari sudah senja. Raja Parultep segera menuruni bukit Silalahi dan terus mencari kemana hinggapnya burung elang itu.
Raja Parultep terheranheran melihat seorang pemuda duduk diatas pondok sambil memengang burung elang yang disumpitnya. Dengan geram dan marah Raja Parultep berkata : “ Hei, siapa kamu yang berani tinggal ditanah milikku ini ? Aku adalah Raja Pakpak yang berkuasa sampai ke pantai danau ini. Kemarikan burung elang yang kau pegang itu, kau harus dihukum dan diusir dari tempat ini, “ katanya.
Silahisabungan menduduki seonggok tanah yang dibawa dari Balige dan mengambil air yang dibawa dari Mual Sigutti, lalu dengan sopan santun dan penuh wibawa, ia menjawab : “ Raja Pakpak yang mulia, saya tidak bersalah, ucapan raja yang mengada-ngada. Saya berani sumpah, bahwa tanah yang saya duduki ini adalah tanahku dan air yang saya minum ini adalah airku, “ lalu Silahisabungan meneguk air dari kendi ( tabu-tabu ) yang dibawanya dari Mual Sigutti. Silahi sabungan lalu turun dan memberi salam ke Raja Parultep dengan hormat dan memperkenalkan diri.
Mendengar ucapan Silahi sabungan dan tutur katanya yang menawan, amarah Raja Parultep jadi hilang dan menjawab dengan ramah : “ Goarmu sude jolma baua mamboan, goarhu pe denggan mapaboaon, I ma ulaulangku ari-ari marga Padangbatangari na domu tu marga Pasaribu “, katanya. (namamu sebagaimana laki-laki, baiklah aku juga akan memeritahukan namaku yaitu sama seperti apa yang kulakukan setiap hari – berburu dengan sumpit ( bhs. Pakpak : parultep ) marga Padang batangari, sepadan dengan Pasaribu ).
Kemudian Silahisabungan berkata :” Horas ma tulang,ai inongku pe boru Pasaribu do ”, ( horas Tulang, ibuku juga boru Pasaribu ) sambil mempersilahkan Raja Parultep naik ke pondokannya karena hari sudah mulai gelap. Ajakan Silahi sabungan dengan senang hati diterimanya dan mereka dapat bercengkrama sampai larut malam. Dalam percakapan mereka Raja Parultop menanyakan keberadaan keluarga Silahisabungan. Dijawabnya bahwa ia belum beristeri. Mendengar tutur kata Silahi sabungan nan sopan lagi santun, diam-diam Raja menaruh simpati dan ingin bermenantukan Silahi sabungan, Raja Parultep lalu berkata : “ Aku mempuyai putri 7 orang, kesemuanya sudah anak gadis. Jikalau kau berkenan menjadi menantuku besok kita pergi ke Balla. Pilihlah salah satu putriku untuk menjadi istrimu, dengan syarat tidak boleh dimadu ( na so marimbang ) sepanjang hidupmu “. Mendengar ajakan raja, Silahi sabungan menyambut dengan senang hati. Lalu Silahisabungan menjawab : “ Mana mungkin saya berani ke Balla jikalau tidak memenuhi adat istiadat, sedang aku hanya sebatangkara. Kumohon , Pamanlah membawa paribanku itu kemari, supaya disini aku pilih “.
Alasan Silahi sabungan masuk akal Raja Parultep, akhirnya menerima permintaan Silahi sabungan. Kemudian mereka menetapkan hari dan tanggal pertemuan sekaligus perkawinannya, lalu mereka sama-sama minta tidur karena sudah lelah sepanjang hari. Silahi sabungan tidak dapat tidur semalam-malaman memikirkan dan membayangkan putri Raja Parultep. Bagaimana cara memilihnya jikalau benar ada 7 orang putri raja. Diam-diam Silahisabungan membuka Laklak Tumbaga Holing, untuk melihat petunjuk. Dalam petunjuk terlihat putri raja hanya satu, lalu mengapa dikatakan 7 orang ?
Rupanya Raja Parultep pun tidak tidur sepanjang malam itu. Dengan berpura-pura tidur, Raja Parultep mengintip gerak-gerik Silahisabungan. Diketahuilah bahwa Silahi sabungan adalah orang sakti, bukan sembarang orang. Keesokanharinya Silahi sabungan memberangkatkan Raja Parultep pulanng ke Balla dengan oleh-oleh ikan Batak. Silahisabungan berkata : ” Jikalau rombongan Paman datang terlebih dahulu, nyalakan api diatas bukit sana dan kemudian akan saya nyalakan api dibawah ini tanda saya sudah siap menyambut Paman “. Setelah sepakat akan perjanjian mereka, Raja Parultep lalu pulang ke Balla dengan membawa banyak oleh-oleh Ikan Batak.
Sementara itu Tuan Horsik, putera dari pengulu di Tambak Bawang ini, pergi ke merantau ke sebelah Timur. Di tengah perjalanan, terlihat olehnya seekor burung, lalu di sumpitnya. Burung itu hampir mati ketika hendak di tangkap ia terbang lagi. Di kejauhan terdengar kembali burung itu bernyanyi "Tintin ni ise on" (cincin siapa ini). Burung itu diikutinya. Di sumpitnya lagi, lalu terbang lagi. Begitulah seterusnya, hingga tak disadari ia telah tiba di Nagur Bolag ibukota Kerajaan Nagur.
Di sana ia di terima degan baik dan Raja memintanya untuk menjadi pemburu pribadinya, sehingga ia dikenal dan di juluki dengan panggilan Pangultop-ultop. Kemudian Raja Nagur menerimanya menjadi menantu dan kepadanya diberikan sebuah perkampungan baru yang dinamai Silou, dekat sebuah anak sungai yang bernama Bah Polung.
Komentar
Posting Komentar